Label

Automatic translation of this blog page: Terjemahan otomatis hal blog ini

Sabtu, 01 Oktober 2011

A

Glosari (Daftar Istilah)







Arca, Patung, (sculpture)- suatu karya seni tiga dimensi, yang dibuat dengan memahat, dengan modeling, dikonstruksi, atau dicetak.

Arsitektur (architecture)- adalah bentuk perancangan (designing) dan perencanaan (planning) pembangunan struktur-struktur seperti rumah, mesjid, jembatan, pusat perbelanjaaan, bangunan kantor, sekolah, dan lain-lain. Arsitektur lazim ditemukan pada sepanjang sejarah kebudayaan (culture)manusia.

Asli (original)- artwork yang tidak dicopy atau meniru pekerjaan orang lain.

Indeks Pelaku Seni Indonesia (Indonesian Art & Artist)



A.A.GEDE SOBRAT, (Alm). Pelukis Bali ,Kelahiran Padang Tegal, Ubud, Bali 1909. Pendidikan hanya sampai di Sekolah dasar. Pengikut kelompok Pita Maha di Bali, murid dari Rudolf Bonnet  sekitar tahun 1935‑an. Banyak mengadakan pameran baik dalam maupun luar negeri.




A.A.J.PAYEN, pelukis Belgia yang didatangkan pemerintah Hindia Belanda ke Indonesia untuk membuat dokumentasi alam Indonesia.

A.A.Navis, anggota Sanggar  Seni Rupa SEMI, (SENIMAN MUDA INDONESIA), yang berdiri di Bukittinggi Sumatera Barat sekitar tahun 1946, yang diketuai oleh , Zetka. A.A.Navis kemudian lebih dikenal sebagai penulis Sastra.





A.D.PIROUS, pelukis. Kelahiran Meulaboh 11 maret 1933. Pendidikan awalnya di Seni Rupa ITB; kemudian  Departemen Of Arts & Design, Rocherster Institut of Technologi Rocherster, U.S.A. Mengajar di  Institut Teknologi Bandung. Disamping melukis dia bergerak dalam bidang desain grafis. Banyak mengadakan pameran baik dalam maupun luar negeri. Pada tahun 50‑an dia adalah anggota perkumpulan pelukis "Sanggar Seniman" Bandung 1952, Pelukis Gaya Abstrak, seni lukis tanpa objek pertama di Indonesia periode 1960‑1970.GAYA SENI LUKIS: dia termasuk pelukis abstrak yang mengungkapkan pengalamannya tentang alam tanpa melukis benda‑benda alam itu sendiri. Mengandalkan daya ungkap elemen‑elemen rupa serta susunannya. Seringkali melukis dengan membuat pembagian bidang yang membentuk horison, dengan warna‑warni yang tidak murni dan kaya dengan nuansa, juga oleh corak teksturnya, ketidak teraturan dan oleh variasi dalam bentuk dan juga susunannya, lukisan‑lukisannya pada mulanya memperlihatkan rupa berprototipe alam. Pelukisnya tidak melukis alam, namun lukisannya mempunyai asosiasi dengan alam, perasaan akan alam. A.D.Pirous, sejak 1970 mengambil kaligrafi Arab sebagai pokok lukisannya. Disini kita menemukan seni lukis yang mengambil seni lain sebagai sumber ungkapan: "seni tulis Arab" sebagai pokok lukisannya, seperti banyak terdapat di Aceh, daerah kelahiran A.D.Pirous. Kadang‑kadang A.D.Pirous mengambil suatu ayat suci, mencoba memadukan makna dengan seluruh elemen rupa lukisannya. Kadang‑kadang dari kaligrafi itu ia hanya mengambil gerak dan iramanya.

ABAS ALAMSYAH. Pelukis /seniman dengan kecendrungan seni lukis abstrak di  Yogyakarta., Gaya seni : pelukis bergaya dekoratif pertama Indonesia masa 1940‑50‑an


ABAS ALIBASYAH, Pelukis. Kelahiran Purwakarta, 1 Maret 1928. Pendidikan Keimin Bunka Shidoso, Bandung tahun 1943, kemudian antara tahun 1950‑1954, Pendidikan Akademi Seni Rupa Indonesia di Yogyakarta.Banyak mengadakan pameran baik dalam maupun luar negeri sejak tahun 1959.

ABDUL KHALIM, pelukis. Kelahiran Semarang, 3 Syura 1882. Pendidikan STSRI‑"ASRI" Yogyakarta mulai tahun 1970. Karyanya banyak dilhami oleh latar belakang keluarganya yang membuka bengkel mobil, untuk membuat karya‑karya seni dengan teknik las dengan bahan logam.

ABDUL SALAM, Pelukis yang timbul pada masa Kedua Seni Rupa Indonesia, Anggota PERSAGI, Kemudian zaman revolusi (tahun 1945‑1949) pindah ke Yogyakarta dan bergabung dengan SIM (seniman Indonesia Muda). Kepindahan seniman‑seniman ini juga karena pindahnya  Ibu Kota Republik Indonesia ke Yogyakarta.

ABDULLAH SURIOSUBROTO (1878‑1941) atau Abdullah S.R. tercatat sebagai salah seorang tokoh Mashab "Hindia Molek" ,ia adalah pelukis Masa pertama , generasi sesudah Raden Saleh berlangsung dalam empat puluhan tahun pertama abad ini dengan tumbuhnya seni lukis pemandangan alam.Dia adalah anak dari dokter Wahidin Sudirohusodo, seorang tokoh pergerakan nasional, pendiri "Boedi Oetomo). Abdullah sempat belajar di Akademi seni rupa di negeri Belanda setamat SMA. Dikirim orang tuanya untuk belajar kedokteran tetapi menyimpang ke Akademi Seni Rupa di Negeri Belanda. Bakat melukisnya sudah ada sejak masa kanak‑kanak di Solo. Perhatian objek alam lain seperti manusia, tetapi pemandangan alam mempunyai kedudukan utama dalam seni lukis masa ini.Tumbuhnya seni lukis pemandangan alam pada awal abad ini ditunjang oleh beberapa faktor. Salah satu faktor yang terpenting ialah adanya sejumlah pelukis Belanda, baik yang didatangkan oleh pemerintah Hindia Belanda , dengan tugas resmi (misalnya untuk melukis keadaan alam, kota dan lain‑lain di Indonesia) maupun yang datang karena semangat bertualang dan tertarik akan alam sekitar lautan teduh. Dia memilih menetap di kota Bandung setelah studi di Belanda. Bandung sebagai salah satu tempat banyak di huni oleh bangsa asing sebagai konsumen seni dan juga karena alamnya yang sejuk dan indah. Lukisan‑lukisan gaya ini sering juga disebut bergaya turistik. GAYA SENI LUKIS: Naturalisme Romantik, pada masanya lukisannya mampu membawakan rasa keharuan dan perasaan romantis, menimbulkan kerinduan akan kehidupan yang tenteram. Lukisannya  banyak menarik orang asing dan Indonesia yang memperlihatkan Indonesia yang kaya, subur dan indah. Lukisannya banyak menarik angkatan muda, dan kuat pengaruhnya. Sampai saat ini corak lukisannya masih ada di kota Bandung, diantaranya yang mengikutinya adalah pelukis Wahdi. Salah satu ciri lukisannya , dia mampu menggambarkan pemandangan alam yang terbentang mulai dari pemandangan sawah, padi menguning dan air yang mengalir, gunung yang diselimuti oleh awan. Permainan cahaya disela‑sela rumpun bambu dan hutan belantara serta keelokan jalan , sungai yang jernih, yang melingkar diantara semak‑semak dan pepohonan berlumut. Demikian juga dia sangat mampu untuk menggambarkan langit dengan awan yang berarak, suasana senja yang lembayung, atau matahari pagi dengan awan yang tipis berarak. Karya‑karya Abdullah Sr., Wakidi,  Pirngadi umumnya  selain bernilai tentram, tenang, bersih dan enak dilihat, namun menyimpan kelemahan yang sama. Ini disebabkan oleh sikap yang belum berhasrat untuk mepelajari alam secara lebih mendalam, ketelitiannya baru dari cara melihat alam dari jauh semata‑mata. Kekurangan lukisan mereka akan segera terlihat jika menggambarkan detail , misalnya gambar pohon dari dekat. Yang umumnya mereka lukiskan hanya sebagai pelengkap saja  (latar muka), dari komposisi lukisan, mereka melukiskan pohon bukan karena daya tarik pohon itu sendiri, yang memiliki cabang dan ranting yang sebenarnya memiliki keindahan tersendiri. Untuk menyatakan bentuk lukisan realistis‑naturalistis secara detail  sebenarnya dibutuhkan keahlian mengamati secara cermat, dan hal tersebut tidak bisa dilakukan pertama karena digambarkan di studio, yang kedua belum ada alat bantu lain seperti kamera untuk membantu penggambaran objek. Meniru alam dan mengungkapkan keindahannya memang memerlukan pengamatan yang cermat, dan kekurangan seperti ini memang terdapat pada gaya "Hindia Molek".

ABEDY,Pelukis, anggota Perkumpulan pelukis Cipta Pancaran Rasa di Bandung tahun  1952

ABSTRAK: SENI LUKIS ABSTRAK: pengertian, sebutan "abstrak" mempunyai beberapa arti. Di sini kita gunakan istilah itu untuk menyebutkan corak seni lukis yang tidak menampilkan rupa yang kita kenali sebagai rupa benda atau obyek yang kita lihat dalam kenyataan disekeliling kita : manusia, hewan, tumbuh‑tumbuhan, pemandangan alam dan sebagainya. 
Lukisan dalam gaya ini tidak melukiskan obyek (disebut juga "abstrak non‑obyektif") ataupun melukiskan figur (karena itu disebut juga "abstrak non‑figuratif"). Tidak berarti bahwa seni lukis abstrak lalu tidak mempunyai hubungan apapun dengan yang kita kenal. Baik pelukis maupun penanggap lukisan, hidup dalam dunia rupa yang mengelilingi mereka. Rupa manusia, hewan, pohon, pemandangan sawah, gunung ialah sebagian saja dari dunia rupa itu, dan inilh yang lazim dilukis. Tetapi ada juga rupa lain. Bumi dilihat dari kapal udara, benda dilihat sangat dekat (permukaan tanah, permukaan batu dan sebagainya) atau perhatian akan obyek‑obyek, benda‑benda yang dilihat dengan mikroskop (jasad renik, jaringan sel susunan kristal, dan sebagainya) menyodorkan kepada kita kekayaan rupa yang aneka ragam. Ada pula rupa buatan manusia : rupa buatan arsitek, para  ahli mesin, para insinyur sipil dan lain‑lain. Dan akhirnya ada bentuk yang kita jumpai dalam ilmu pasti, yang dibuat dengan penggaris, jangka dan lain‑lain. Sambutan kita terhadap dunia rupa yang aneka ragam ini, baik sambutan fisiologis maupun psikologis‑‑jadi dengan demikian seluruh latar belakang pengalaman kita tentang rupa‑‑merupakan faktor penting di dalam kita menghayati lukisan abstrak. Persiapan terbaik untuk "memahami" atau "menikmati" lukisan abstrak ialah kekayaan dan kedalaman pengalaman kita akan dunia rupa yang aneka ragam itu. 
PELUKIS ABSTRAK INDONESIA : Berapa pelukis Indonesia  mengerjakan lukisannya mula‑mula secara inprovisasi tanpa memikirkan sesuatu yang pokok. Kemudian, bila muncul sesuatu rupa, ia mengembangkannya menjadi rupa yang sedikit atau banyak membawa pikiran kita kepada objek yang kita kenal, walaupun tak pernah demikian jelas dan tegas seperti objek‑objek lukisan masa sebelum tahun 1960. Pelukis‑pelukis itu diantaranya : A.D.Pirous, Jusuf Affendi, Rustam Arief, pada periode 1960‑1970 dan juga Amri Yahya, D.A. Peransi dan lain‑lain. Jadi, selagi dalam kecendrungan terdahulu pelukis melukis benda‑benda atau obyek‑obyek, betapapun didistorsi, digayakan ataupun terjelma sebagai fantasi, dalam kecendrungan baru ini pelukis menciptakan bentuk‑bentuk dengan bebas. Ingatan kepada obyek dapat dikatakan hanyalah untuk "pegangan" saja dalam pikiran ditengah susunan bentuk‑bentuk abstrak, ataupun hanya batu loncatan untuk memulai melukis. Pelukis menciptakan susunan rupa yang ekspresif bagi emosinya (segi liris) dan memuaskan perasaannya akan rupa (segi estetis).

ABSTRAK EKSPRESIONISME, Gaya seni di Amerika dan Eropah. Abstrak ekspresionisme  adalah aliran dalam seni lukis Amerika pada tahun‑tahun empatpuluhan, dan pusat perhatian dunia seni lukis berpindah dari Paris ke New York, sebenarnya setelah dan selama perang dunia  ke dua terdapat pematangan dan isolasi ; yaitu selama peperangan antara tahun 1942‑1948 yang segera mempengaruhi kesenian dimanapun juga. Orang‑orang Eropah untuk pertamakalinya mengarahkan pandangannya ke Amerika, sedangkan di Amerika sendiri sebenarnya sudah lama ada perkembangan seni , misalnya Duchamp sudah ada disini sejak tahun 1915, Ozenfat tiba  tahun 1938, Yves Tangui datang tahun 1939. Para seniman mulai mengalir ke Amerika Serikat setelah masa masa‑masa sebelum dan sesudah perang dunia ke dua itu. Abstrak Ekspresionisme adalah suatu aliran yang dipengaruhi oleh gagasan dan konsep seni sebelumnya diantaranya adalah  improvisasinya Kandisky, kemudian oleh Dadaismenya Duchamp serta Surealismenya Miro dan Paul Klee. Para tokoh seniman Abstrak Ekspresionisme diantaranya adalah  Arshile Gorky (1905‑1948) Hans Hofman (1880‑1966), Willem De Kooning (1904‑ ), Tomlin ( 1889‑1953 ) dan Franz Kline (1910‑1962). Kelompok ini sering juga disebut sebagai  "pelukis aksi"  (action painters). Sebagaimana aliran  sebelumnya , kelompok ini mulai berkarya dengan lukisan‑lukisan yang representasional, kemudian dengan cara mereka sendiri sampai kepada seni Abstrak‑ekspresionistis ini . Sebagai contoh misalnya Hofmann mulai dari teori‑teori Matisse dan di tahun 1937 sampai kepada Abstrak ‑ekpresionistis, sedangkan Gorky dan Pollock yang sering ke studio Hofmann, yang sebelumnya terpengaruh oleh aliran Surealisme.Yang menjadi pelopor dalam aliran ini adalah Gorky, yang dekat dengan Kandisky dan kelompok surealistis .

ABSTRAK GEOMETRIS, suatu gaya seni yang dianut oleh mashab Bandung, antara lain A.Sadali  dan kawan‑kawannya sebelum tahun 1963.

ABSTRAK: GAYA SEMI ABSTRAK, yaitu semacam "ideologi kesenian" yang muncul sekitar tahun 60‑an, semacam kompleks pemikiran, sikap dan perasaan yang dimiliki bersama, yang menjadi dasar bersama bagi perbedaan perorangan, dan dianggap sebagai pengesahan berbagai praktek seni lukis yang disebut " semi‑abstrak". Yaitu suatu kecendrungan kepada abstraksi yang lebih besar dalam melukis. Ada dua unsur yang penting dalam ideologi kesenian ini, Pertama, penghormatan kepada pelukis sebagai pribadi yang bebas menciptakan bentuk dan gayanya sendiri. Sudah tentu terdapat kekuatan yang melawannya, tetapi penghormatan itu tetap kuat dan luas terdapat dikalangan pelukis. Unsur kedua ialah kepercayaan yang, karena komunikasi diantara pelukis di sanggar, di pertemuan dan di lembaga pendidikan, telah menjadi semacam ajaran, bahwa elemen‑elemen rupa serta susunannya sendiri, lepas dari obyek apa yang digambarkan, dapat membangkitkan, menyatakan atau menyampaikan emosi, perasaan ataupun pengalaman kesenian yang berharga. Kecendrungan ini nampak terutama pada beberapa pelukis di Bandung, Jakarta dan Yogyakarta. Hampir semua dalam masa sesudah 1960 menganut seni lukis abstrak ; beberapa untuk singgah sebentar, yang lainnya melanjutkan penjelajahannya dalam gaya tersebut. Secara teoritis dikatakan bahwa seni rupa Indonesia telah masuk pada masa ketiga, yakni sejak sekitar 1960 sebagai masa berkembangnya  seni lukis abstrak di Indonesia. Walaupun gaya seni yang lainnya tetap hidup, boleh dikatakan berdampingan jadi bukan hanya lukis abstraklah yang terdapat dalam masa ketiga itu. Akan tetapi setidak‑tidaknya boleh dikatakan, seni lukis abstraklah menonjol paling kuat dalam perkembangannya sesudah 1960. Munculnya seni lukis abstrak memperlihatkan berubahnya arah perhatian pelukis kepada segi pengalaman yang terikat pada hadirnya benda‑benda atau objek‑objek: pemandangan, orang di pasar, pohonan, perahu dan lain‑lain ke perhatian akan segi pengalaman yang lebih abstrak.ABSTRAK : Seni Lukis gaya semi abstrak di Bandung, mulai di Bandung dengan Ahmad Sadali dan kawan‑kawannya seperti Mochtar Apin, Srihadi, Popo Iskandar, But Muchtar dan Yusuf Effendi pada tahun 1953. Para pelukis merombak bentuk obyek‑obyek menjadi motif yang datar, yang terjadi oleh perpotongan sejumlah garis lurus dan lengkung. Seluruh lukisan terjadi oleh garis yang membagi‑bagi permukaan kanvas, serta warna‑warna yang telah rata mengisi bidang‑bidang geometris yang terjadi oleh perpotongan garis. Dengan demikian yang segera nampak pada lukisan , atau yang menguasai penglihatan, ialah suatu susunan garis dan bidang geomeris berwarna‑warni, bentuk obyeknya "tenggelam" dalam jaringan itu. Pada waktu yang bersamaan di Jakarta Oesman Effendi memotong bentuk obyek dengan garis dan bidang geometris pula, sehingga terlihat susunan konstruktif dari garis, warna dan bidang. ABSTRAK : gaya semi abstrak di Yogyakarta. Di Yogyakarta pada Oesman Effendi pada G.Sidharta, Fadjar Sidik, Handrijo dan Abas Alamsyah. Pendidikan akademis di ASRI, serta pameran karya pelukis Bandung di Yogyakarta pada tahun 1955 dan 1958, membangkitkan pada beberapa pelukis kecendrungan ke arah abstraksi yang lebih besar. Kecendrungan ini diperkuat dengan pulangnya G.Sidharta dari pendidikannya di Negeri Belanda tahun 1958. G.Sidharta menyusun macam‑macam bentuk, bidang, warna, garis dan tekstur. Susunan itu memang mengingatkan kita kepada benda‑benda yang kita kenal kenyataannya, tetapi bentuknya telah dipotong, dibongkar, dijadikan datar. Handrio, menjelang tahun 1960, cepat menangkap gagasan bahwa lukisan, melalui susunan elemennya, dapat menjadi semacam "musik rupa". Ia mencoba bekerja dengan gagasan ini hingga pada tahun 1963/1964. Ia mengabstrakkan dan merombak bentuk alat‑alat musik menjadi susunan rupa geometris. Bagi Fadjar Sidik tahun 1957/1958 merupakan masa krisis. Oleh pengamatannya akan perkembangan masyarakat sekelilingnya, ia meragukan gaya jalan belaka dengan kecendrungan umum yang telah kita uraikan dimuka. Pada tahun 1960 ia membuat sejumlah sketsa, vignet dan lukisan dengan menyususn motif‑motif datar dengan dasar bentuk gemotris yang cukup jelas, yang nampak bergerak‑gerak dalam ruang seolah‑olah makhluk hidup. Seringkali sebuah motif membangkitkan ingatan kepada bermacam‑macam makhluk hidup sekaligus‑manusia, hewan, tanaman. Menjelang 1960 pula, gaya hias (dekoratif) mendapat perkembangan baru dengan abstraksi lebih besar seperti nampak di Yogyakarta pada Widayat (sejak 1955) dan Abas Alibasyah. Di Yogyakarta pada Oesman Effendi pada G.Sidharta, Fadjar Sidik, Handrijo dan Abas Alamsyah.

ADI MUNARDI, Pelukis. Kelahiran Lawang, 10 Desember 1946. Pendidikan Akademi Seni Rupa Indonesia  1964. Pendidikan STSRI‑"ASRI" 1965. Banyak mengadakan pameran baik dalam maupun luar negeri.  

Adikarya; masterpiece

AFFANDI, (Alm). Pelukis, Kelahiran Cirebon tahun 1907. Pendidikan AMS‑B. Jakarta. Memulai karirnya, dan belajar melukis di Bandung antara tahun 1936‑1942,  semasa Moh.Syafei Soemardja. Sekitar tahun 1942‑1945 aktif di Keimin Bunka Shidoso. Pada tahun 1943 dia mengadakan pameran pertama di Keimin Bunka Shidoso. Dia anggota pembentuk perkumpulan Seniman Masyarakat pada tahun 1946 Di Yogyakarta. Setahun kemudian (1947) dia bergabung dengan Sudjojono  dalam SIM ( Seniman Indonesia Muda) yang dibentuk di Madiun pada tahun 1946, tetapi kemudian pindah ke Surakarta di tahun 1947; dan akhirnya ke Yogyakarta 1948, karena pertentangan pendapat. Pada tahun 1947 Hendra, Affandi, meninggalkan SIM dan mendirikan Pelukis Rakyat. Dalam perkumpulan ini bergabung Sudarso, Kusnadi, Sasongko, Trubus, Sumitro, Sudiardjo, Setijoso dan lain‑lain. Pada tahun 1948  Affandi  dengan Sutikna mendirikan Gabungan Pelukis Indonesia (GPI) ) di Jakarta tahun 1950 melawat ke India dengan biaya sendiri, liwat bantuan pemerintah India kemudian mengadakan pameran di kota‑kota besar India. Tahun 1952 melawat ke Eropah, pameran di Belanda dan Begia, terus ke Perancis dan Italia tahun 1953‑1954. Pameran bersama di Biennalle II, San Paulo Brazillia. Tahun 1953. Tahun 1954 mewakili Indonesia di Brazillia. Sepulangnya dari Eropah , tahun 1955 mengajar di Pendidikan Akademi Seni Rupa Indonesia dan pameran tunggal di Jakarta pada tahun itu juga. Pada tahun 1957, dengan grant pemerintah Amerika mempelajari metode Pendidikan Kesenian. Tahun 1962, menjadi guru besar kehormatan pada Ohio University AS.Membuat mural pada East West, Center University, Hawaii tahun 1968 menjadi ketua persatuan seni rupa Internasional "JAPA", penerima anugerah seni dari pemerintah Indonesia, diangkat menjadi anggota akademi Jakarta" seumur hidup. Pada tahun 1974 mendapat anugerah Doktor kehormatan dari University Singapore pada tahun 1977, mendapat kehormatan Internasional, penghargaan "Dag Hammer skoeld" di Italia. GAYA SENI LUKIS : Karya pertama Affandi terdiri dari sketsa dengan tinta hitam dan pena, pastel dan cat air, yang dibuatnya di Bandung. Karyanya dari media pastel berusaha untuk menyalin bentuk, sedangkan karya sketsa dari pena, dan tinta Cina ,lebih bebas. Dia mempelajari reproduksi karya‑karya besar dari Michael Angelo, Botticelli dan Rembrant. Afandi berhasil menciptakan lukisan dan ekpresi air muka ibunya dengan cat minyak tahun 1940. Dengan kecermatan anatomis, karya potret ini istimewa dipandang dari penyusunan warna maupun garis maupun ekpresi bentuk wajah. Karya pameran tunggal pertama Affandi  tahun 1943 di "Poetera" Jakarta, membuka cakrawala seni lukis Indonesia dalam gaya ekspresionisme.Pameran tersebut juga mengetengahkan berbagai segi kehidupan di Bali, seperti "upacara‑upacara, adu ayam, minum tuak, peliharaan babi" dan kebiasaan rakyat Bali yang lainnya. Objek‑objek lukisan yang sebelumnya belum terlukis oleh para pelukis yang umumnya bersifat turistik dan hanya menonjolkan sifat eksotik Bali (gaya Hindia Molek). Affandi juga suka melukis potret, terutama anggota keluarganya, seperti istri, anak‑anak dan dirinya sendiri. Sebagai penganut ekspresionisme dia suka kepada yang menyentuh perasaan misalnya dia melukis pengemis yang dilukisnya sewaktu datang, waktu dia berhenti dan waktu dia pergi. Karya lain adalah burung gereja yang mati ditangannya. Dia sering menyatakan pengagum Van Gogh. Namun dia tidak meniru Van Gogh, sebab lukisan‑lukisan Van Gogh umumnya pendek, lurus serta paralel sedangkan garis‑garis lukisan Affandi panjang serta bergelombang, mengalun yang simpang siur arahnya. Van Gogh melukis dengan kuas, sedangkan Affandi padamulanya saja dengan kuas kemudian selalu memelototkan cat ke kanvasnya.Cara melukis Affandi ini menyebabkan permukaan kanvas bertekstur, dan terdiri dari warna‑warna kental dan sebagian lukisan Affandi bidang kanvasnya dibiarkan kosong. Bagian‑bagian kanvas yang kosong dalam sebuah lukisan pada umumnya, membawa kelegaan, sebagaimana lukisan‑lukisan dari gaya Tiongkok klassik maupun Jepang.Tentang kebiasaan melukis sebagian bidang kosong ini berasal juga berasal dari kebiasan melukis dengan cat air, sbelum periode cat minyaknya. Periode cat air ini berlangsung selama tujuh tahun (1936‑1942), dalam masa terakhir dari cat airnya dia juga memelototkan langsung cat air ke kertas sebagaimana teknik cat minyaknya. Segera setelah bidang kertas berisi garis‑garis segera diguyurkannya air dengan kedua tangannya berkali‑kali, gunanya adalah untuk mencairkan dan mewarnai kertas. Affandi suka menyertai tanda tangannya dengan simbol matahari dan kaki orang untuk menggambarkan falsafah hidupnya yang mengagumi kebesaran alam, dan ingin mengisis hidupnya dengan kerja saja.

AGUS DERMAWAN T., Penulis, Kritikus seni, Kelahiran Rongojampi  (Jawa Timur), tahun 1952. Pendidikan STSRI‑"ASRI" Yogyakarta  tahun 1971‑1976, jurusan Seni Lukis. Banyak menulis  masalah seni di berbagai koran dan majalah, sejak tahun 1977 menjadi pembantu lepas untuk penulisan seni rupa di harian Kompas. Dan sebagai staf artistik majalah Gadis jakarta. Selain menulis kritik seni, juga membuat cerpen, puisi dan essai. Mendapat berbagai penghargaan atas karya‑karyanya. Beberapa buku yang telah ditulisnya : "Basuki Abdullah, Duta Seni Lukis Indonesia, dan "Zaini, Manusia, Lukisan dan Kabut.

AGUS DJAJA SUMINTA, pelukis, penulis zaman kemerdekaan, Ketua PERSAGI . Dia dianggap sebagai pelukis yang bergaya Fantasi sekitar tahun 1940‑50‑an. Dia juga memimpin  bagian Seni Rupa pada Keimin Bunka Shidoso ( Pusat Kebudayaan), di Zaman Jepang. Agus Djaja , disamping melukis juga gemar  membuat essay pendek berbahasa Belanda tentang pandangan melukisnya, essay tersebut ditulisnya dalam gaya romantis‑puitis, sebagaimana juga seni lukisnya. GAYA SENI LUKIS: Kekhasan karya‑karya Agus Djaja  terletak pada gaya melukis figur wanitanya, baik dalam sikap maupun dalam komposisi. Dalam lukisan Agus Djaja terlihat adanya hubungan yang kuat antara ide dan cara pengelompokan, atau penyusunan komposisi figur yang terdapat pada relief candi yang menjadi sumber ilhamnya. Namun demikian figur tersebut telah diolah kedalam bentuk realita bentuk nyata manusia, sehingga memperlihatkan kesan kegemulaian dan kemolekan. 
Dan tidak sama dengan proporsi bentuk yang terdapat pada relief candi. Dalam menggambarkan figur Agus Djaja memfokuskan penggambaran wajah tokoh yang digambarkan, melalui pandangan yang sayu, rambut lebat dan dengan uraian rambut tertentu, serta kening melengkung sebagai unsur penting dari wajah. Karya‑karya Agus Djaja yang terbaik berhasil mengekspresikan  pandangan mata yang jernih serta dalam. Umumnya karya Agus Djaja menggali lagi rahasia puitis dari timur yang bersumber dari masa  kehidupan candi Indonesia. Karya lukis Agus Djaja  mengajak kita untuk menghargai  gema dari alam dekoratif, melalui warna maupun pembawaan kesan‑kesan monumental komposisi karyanya. Rasa mistiknya tetap ada, disamping rasa sensual dari tokoh wanita yang digambarkan. Agus Djaja umumnya tertarik untuk menggambarkan mitologi perwayangan, diantaranya adalah untuk menggambarkan tokoh Arjuna dan Kresna dalam epik Mahabharata dan perang Bharatayuda. Dalam hal ini nampak Agus Djaja terpengaruh dengan seni relief candi dan  wayang kulit, dimana dalam melukiskan figur wayang Agus Djaja, tidak selalu meujudkannya dalam bentuk tiga dimensi. Seorang tokoh ksatria dalam wayang dilukiskan olehnya dengan hidung yang mancung sebagaimana terdapat dalam wayang kulit atau wayang golek. Tetapi wayang ini dihidupkan sebagaimana figur manusia yang biasa, yang berpakaian seperti tergambar dalam relief candi, atau analogi dari tata pakaian pada wayang kulit dan wayang orang. Dalam karya‑karya aquarelnya, yang dibuat diatas kertas pada masa PERSAGI seperti potret istrinya dan seorang penari topeng Bali, rata‑rata digambarkan  berwarna monoton keabu‑abuan dengan menunjukkan sapuan‑sapuan kuas yang cepat. Dia kemudian menghapus kembali sapuan tersebut dengan karet, dalam cara  demikian maka dilahirkan tekstur kertas yang tidak rata lagi, tetapi membentuk tertur yang berombak. Disamping sebjek matter yang berasal dari masa kecandian, Agus Djaja juga melukiskan kehidupan, sehari‑hari misalnya pertunjukan rakyat, dengan menonjolkan sifat santai dan kocak dari figur yang digambarkan. Misalnya dalam menggambarkan pemain gendang dan peniup seruling dari permainan pencak silat, atau pemain kuda kepang yang gemuruh dalam gaya Jawa Barat. Agus Djaja  juga berkarya dengan sketsa‑sketsa pena hitam putih.

AGUS KAMAL, Pelukis,Kelahiran Pemalang, 31 Juli 1956. Pendidikan FSRD‑ISI Yogyakarta 1986. Banyak mengadakan pameran baik dalam maupun luar negeri. Dia banyak mendapatkan penghargaan, dalam melukis. Gaya seni: Pelukis muda generasi 80‑an Indonesia, khususnya mashab Yogyakarta, dengan gaya surealime barunya. Hal ini terjadi akibat pertemuan antara dasar berfikir yang muskil, absurd dan mimpi seperti yang ada dalam dunia fikir Indonesia lama dengan surealisme Barat, melahirkan surealisme para pelukis muda di Indonesia, khususnya di Yogyakarta.

AHMAD SADALI (alm). Pelukis abstrak Bandung, Kelahiran Garut,29 juli 1924,  melukis sejak kecil.Pendidikan, Universitas Indonesia, Fakultas Teknik departemen Seni Rupa 1948‑1953.Dep. Seni Rupa Univ.Of IOWA, USA 1956 ; Arts Teachers colledge, Columbia University USA 1957; Art Student League, NYC.USA 1957, Dosen Seni Rupa  Institut Teknologi Bandung. Banyak mengadakan pameran baik dalam maupun luar negeri. GAYA SENI LUKIS:  pada tahun 1963 meninggalkan abstrak geometris. Kanvasnya memperlihatkan warna‑warna cemerlang yang lebar‑lebar dan tidak  menggambarkan objek apapun. Dalam perkembangannya kemudian, kanvas Ahmad Sadali menyuguhkan warna‑warna yang lebih redup seperti warna tanah oker,biru dalam dan hitam. Tekstur memegang peranan penting. Tekstur ini nampak seolah‑olah terjadi oleh bermacam tenaga dan proses dalam alam; penegangan dan pengerutan, peretakan, pemecahan, pengelupasan dan penyobekan, pengikisan dan pelapukan, proses menua dan menghancur. Pada lukisan Ahmad Sadali tidak ada sapuan kwas lebar dan kuat yang merekam tenaga dan emosi pelukis, dan yang membuat pengmatan kita bergerak cepat, segala retakan dan tekstur, berbagai coretan dan goresan yang bergerak pendek, menyebabkan setiap jengkal bidang lukisan Ahmad Sadali merupakan rupa yang kaya dan menawan kita untuk mengamati dengan tenang dan cermat, untuk diam dan merenunginya. Keusangan dan kelapukan , ketuaan dan kelampauan, memang merupakan hal yang pantas membuat kita termenung. Apa lagi jika Ahmad Sadali pada kanvasnya menempatkan lelehan dan sisa emas kemilau atau menempatkan bentuk yang dapat kita tangkap sebagai lambang : sepotong ayat suci dalam huruf Arab, segi empat hitam yang mengingatkan kita kepada Ka'bah, bentuk seperti gunungan (kekayon = pohon ayat) atau gerak keatas (vertikal). Perhatian Ahmad Sadali kepada tekstur sebagai elemen yang sangat penting dalam lukisannya, menyebabkan dia menggunakan cat yang tebal dan kadang‑kadang merekatkan potongan kain pada kanvasnya. Tekstur yang makin menonjol ini membawanya kepada relief pada kanvas Ahmad Sadali sekitar tahun 1970, dia memasang bantalan yang tebal. Pengalaman yang "dipancarkan" oleh lukisan Ahmad Sadali, misalnya bukanlah kejadian dalam kehidupan sosial, ataupun pengalaman tentang sepotong pemandangan alam, ataupun ungkapan emosi‑emosi yang tergugah oleh hal‑hal demikian. Yang dipancarkan ialah pengalaman yang timbul oleh suatu penglihatan tentang suatu proses perusakan dan penghancuran dalam alam kehidupan, bukan perusakan dan penghancuran objek ini atau objek itu, proses perusakan itu sendiri. Jika Oesman Effendi melukis "alam Perahu" atau "pemandangan", perhatiannya bukanlah kepada segi pengalaman yang terikat oleh, atau melengket pada rupa perahu atau pemandangan. Ia tertarik pada segi pengalaman yang lebih berupa sari, lebih bersifat musik. Demikianlah, seperti yang telah kita sebutkan, banyak pelukis mengungkapkan pengalamannya tentang alam tanpa melukis objek‑objek dari alam itu sendiri.Dorongan yang merubah perhatian kepada segi pengalaman yang lebih abstrak itu pula yang menyebabkan kuatnya kecendrungan ke abstraksi yang lebih besar sesudah 1960‑an.

AKADEMI SENI RUPA INDONESIA  (ASRI) berdiri pada  tanggal 18 Januari tahun, 1950, di Yogyakarta, berkat idealisme pendidik A.J.Katamsi. Dan lembaga ini memperoleh status penuh sebagai lembaga pendidikan tinggi pada tahun 1968 dan menjadi Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia Asri (STSRI"ASRI"). Konsep pendidikan , awalnya adalah untuk mendidik calon seniman, dan yang kedua adalah untuk mendidik calon guru. Calon mahasiswa seniman  yang diterima minimal berpendidikan lulusan  SMP, sebab dianggap bakat seniman sudah ada sejak muda. Hendra dan Kusnadi memimpin bagian seniman dan R.J.Katamsi dan Djajengesworo memimpin guru gambar.
Alat; instrument

ALEX WETIK, anggota Perkumpulan pelukis "Matahari" di Jakarta,1957

AMANG RAHMAN JUBAIR, pelukis. Kelahiran Surabaya 20 Nopember 1931. Melukis sejak tahun 1963 secara otodidak. Disamping pelukis juga penyair. Banyak mengadakan pameran di indonesia. Corak lukisannya surrealistis dengan susunan yang liris. Menjabat anggota BPH, kepala bidang Seni Rupa Dewan Kesenian Surabaya (DKS) dan menetap di Surabaya.

AMING PRAYITNO, pelukis, seniman. Kelahiran Surakarta 9 Juni 1943. Pendidikan Akademi Seni Rupa Indonesia dan STSRI‑"ASRI" Yogyakarta 1978, Gaya lukisannya mula‑mula masih mengambil objek nyata dan kemudian berubah menjadi non figuratif. Asisten dosen STSRI‑"ASRI" Yogyakarta. Belajar seni ke Belgia  tahun 1976. Banyak mengadakan pameran baik dalam maupun luar negeri.

AMRI YAHYA Pelukis Gaya Abstrak, seni lukis tanpa objek pertama Indonesia periode 1960‑1970. Kelahiran Palembang 29 September 1939. Pendidikan Akademi Seni Rupa Indonesia  dan menyelesaikan tahun 1963. Mendirikan sanggal "Muslim" tahun 1964. Mulai mengembangkan seni lukis batik sejak tahun 1966. Mulai belajar diikip Seni Rupa Yogyakarta tahun 1968 dan pada tahun yang sama mendirikan "Art Gallery Yogya bersama Soemihardjo.Lulus  IKIP Seni Rupa tahun 1971, dan pada tahun yang sama bersama Soemihardjo dan Sularjo membangun "The Jayakarta Center of Arts and Crafts". Menjadi dosen IKIP Seni Rupa Yogyakarta tahun 1973 dan mengajar di STSRI‑ASRI. Tahun 1972 mendirikan "Amri Gallery " di Yogyakarta, membuka cabang Amri Galleri di Den Pasar Bali pada tahun 1975.Banyak mengadakan pameran baik dalam maupun luar negeri sejak tahun  1960.

AMRUS NATALSA, ppendiri perkumpulan peelukis "bumi tarung" di Yogyakarta

ANALOGI; kias

ANDOT ROOSSENO SS, Pelukis. Kelahiran Jakarta, 30 september 1956. Seniman Otodidak yang berkecimpung di pasar Seni Ancol Jakarta. Banyak mengadakan pameran di jakarta.

ANGKAMA SETJADIPRADJA,  (Alm). Pelukis, dosen Seni Rupa ITB. Kelahiran Ciamis, Jawa Barat 5 Oktober 1933. Anggota Perkumpulan pelukis Cipta Pancaran Rasa di Bandung tahun  1952. Banyak mengadakan pameran baik dalam maupun luar negeri. Disamping mengajar di Pendidikan Seni Rupa ITB. Dia juga mengajar  di Universitas Trisakti, LPKJ, Usakti.

ANGKATAN SENI RUPA INDONESIA, (A.S.R.I.), perkumpulan seni lukis di  Medan , Sumatera Utara tahun 1945. Anggotanya adalah Nasyah Djamin, Hasan Siregar, Hasan Djafar, Husein, ketuanya adalah Ismail Daylay.

ANTI LYRISISME,  gaya seni rupa yang berkembang pada generasi sesudah tahun 1970‑an di Indonesia. Sebuah lukisan merupakan bidang ekpresif, tempat seorang pelukis seakan‑akan memproyeksikan emosi dan getaran perasaannya, merekam kehidupan jiwanya. Bidang lukisan demikian itu dipandang sebagai dunia imajinasi yang memiliki kodrat sendiri, dunia imajiner ataupun "irreal". Dunia yang tampil pada bidang lukisan itu tidak menyambung dan tidak pula merupakan salinan dari dunia nyata‑kongkrit dimana kita, penanggap lukisan berada. Ia hadir dalam ruang "maya'. Seakan‑akan hendak memperkuat sifatnya yang imajiner itulah maka lukisan dibatasi bingkai, "mengucilkan"diri di dinding. Dengan begitulah ia menyajikan rupa yang bukan gambaran benda‑benda yang kita kenal sekitar kita, melainkan dunia imajinasi, yang dalam lingkungan pigura itu dipandang sebagai penjelmaan perasaan dan batin pelukis dalam mengalami alam dan dunia nyata. Sebuah lukisan ialah dunia imajinasi, dunia liris. Didalamnya pengalaman emosi mengalami penyaringan dan penjelmaan. Akan tetapi , pada masa ini, kita patut mencatat lain yang berlawanan dengan lirisisme itu pada sejumlah seniman muda. Gejala ini tampak sesudah 1970. Anti lirisisme itu pada sejumlah seniman muda.  Anti lirisisme ini terwujud dalam dua macam kecendrungan. Dalam macam yang pertama, asosiasi dengan alam dan hidup juga emosi disingkirkan. Tentu terdapat juga perasaan disini, yakni akan rupa atau dalam hal ini: perasaan akan tertib matematis, akan rasionalitas dalam rupa. Lukisan menjadi susunan dua atau tiga macam bentuk geometris sederhana yang diulang dan disususun mengikuti suatu aturam matematis. Ini tampak pada lukisan‑lukisan B.Munni Ardhi, Harsono, Nanik Mirna pada tahun 1970‑1973. Dalm hal lain, melukis ialah meneliti, menganalisa, mengukur dan menghitung, dalam rangka mencari dan menimbulkan gejala optis dalam struktur yang bersistem, seperti pada lukisan‑lukisan Anyool Subroto dan Sugeng Santosa.

ANYOOL SUBROTO salah seorang anggota Seni Rupa Baru 1975, Pelukis eksperimental Indonesia periode 1970‑1973‑an, melukis melalui meneliti, menganalisa, mengukur dan menghitung, dalam rangka mencari dan menimbulkan gejala optis dalam struktur yang bersistem , sebagai penolakan terhadap gaya sebelumnya yang "lirysisme", sehingga gaya seni mereka dianggap lebih rasional.

APRESIASI SENI, Istilah apresiasi berasal dari bahasa Latin Apreciatio  artinya 'mengindahkan' atau 'menghargai'.

ASRI NUGROHO, Pelukis muda generasi 80‑an Indonesia, khususnya mashab Yogyakarta, dengan gaya surealime barunya. Hal ini terjadi akibat pertemuan antara dasar berfikir yang muskil, absurd dan mimpi seperti yang ada dalam dunia fikir Indonesia lama dengan surealisme Barat, melahirkan surealisme para pelukis muda di Indonesia, khususnya di Yogyakarta.

ATENG RUSYAN, Pelukis, Anggota PERSAGI,(Persatuan Ahli Gambar Indonesia) yang didirikan oleh Agus Djaja tahun  1938.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar