Glosari (Daftar Istilah)
Arca,
Patung, (sculpture)-
suatu karya seni tiga dimensi, yang dibuat dengan memahat, dengan modeling,
dikonstruksi, atau dicetak.
Arsitektur (architecture)- adalah bentuk
perancangan (designing) dan perencanaan (planning) pembangunan
struktur-struktur seperti rumah, mesjid, jembatan, pusat perbelanjaaan,
bangunan kantor, sekolah, dan lain-lain. Arsitektur lazim ditemukan pada
sepanjang sejarah kebudayaan (culture)manusia.
Asli (original)- artwork yang tidak
dicopy atau meniru pekerjaan orang lain.
Indeks Pelaku Seni Indonesia
(Indonesian Art & Artist)
A.A.GEDE
SOBRAT, (Alm).
Pelukis Bali ,Kelahiran Padang Tegal, Ubud, Bali 1909. Pendidikan hanya sampai
di Sekolah dasar. Pengikut kelompok Pita Maha di Bali, murid dari Rudolf
Bonnet sekitar tahun 1935‑an. Banyak mengadakan pameran baik dalam maupun
luar negeri.
A.A.J.PAYEN, pelukis Belgia yang didatangkan pemerintah Hindia
Belanda ke Indonesia untuk membuat dokumentasi alam Indonesia.
A.A.Navis, anggota Sanggar Seni Rupa SEMI, (SENIMAN MUDA
INDONESIA), yang berdiri di Bukittinggi Sumatera Barat sekitar tahun 1946, yang
diketuai oleh , Zetka. A.A.Navis kemudian lebih dikenal sebagai penulis Sastra.
A.D.PIROUS, pelukis. Kelahiran Meulaboh 11 maret 1933. Pendidikan awalnya
di Seni Rupa ITB; kemudian Departemen Of Arts & Design, Rocherster
Institut of Technologi Rocherster, U.S.A. Mengajar di Institut Teknologi
Bandung. Disamping melukis dia bergerak dalam bidang desain grafis. Banyak
mengadakan pameran baik dalam maupun luar negeri. Pada tahun 50‑an dia adalah
anggota perkumpulan pelukis "Sanggar Seniman" Bandung 1952, Pelukis
Gaya Abstrak, seni lukis tanpa objek pertama di Indonesia periode 1960‑1970.GAYA SENI LUKIS: dia termasuk pelukis abstrak yang mengungkapkan pengalamannya
tentang alam tanpa melukis benda‑benda alam itu sendiri. Mengandalkan daya
ungkap elemen‑elemen rupa serta susunannya. Seringkali melukis dengan membuat
pembagian bidang yang membentuk horison, dengan warna‑warni yang tidak murni
dan kaya dengan nuansa, juga oleh corak teksturnya, ketidak teraturan dan oleh
variasi dalam bentuk dan juga susunannya, lukisan‑lukisannya pada mulanya
memperlihatkan rupa berprototipe alam. Pelukisnya tidak melukis alam, namun
lukisannya mempunyai asosiasi dengan alam, perasaan akan alam. A.D.Pirous,
sejak 1970 mengambil kaligrafi Arab sebagai pokok lukisannya. Disini kita
menemukan seni lukis yang mengambil seni lain sebagai sumber ungkapan: "seni
tulis Arab" sebagai pokok lukisannya, seperti banyak terdapat di Aceh,
daerah kelahiran A.D.Pirous. Kadang‑kadang A.D.Pirous mengambil suatu ayat
suci, mencoba memadukan makna dengan seluruh elemen rupa lukisannya. Kadang‑kadang
dari kaligrafi itu ia hanya mengambil gerak dan iramanya.
ABAS ALAMSYAH. Pelukis /seniman dengan kecendrungan seni lukis abstrak
di Yogyakarta., Gaya seni : pelukis bergaya dekoratif pertama Indonesia
masa 1940‑50‑an
ABDUL KHALIM, pelukis. Kelahiran Semarang, 3 Syura 1882. Pendidikan STSRI‑"ASRI" Yogyakarta mulai tahun 1970. Karyanya banyak dilhami oleh latar belakang keluarganya yang membuka bengkel mobil, untuk membuat karya‑karya seni dengan teknik las dengan bahan logam.
ABAS ALIBASYAH, Pelukis. Kelahiran Purwakarta, 1 Maret 1928. Pendidikan Keimin Bunka Shidoso, Bandung tahun 1943, kemudian antara tahun 1950‑1954, Pendidikan Akademi Seni Rupa Indonesia di Yogyakarta.Banyak mengadakan pameran baik dalam maupun luar negeri sejak tahun 1959.
ABDUL SALAM, Pelukis yang timbul pada masa Kedua Seni Rupa Indonesia,
Anggota PERSAGI, Kemudian zaman revolusi (tahun 1945‑1949) pindah ke Yogyakarta
dan bergabung dengan SIM (seniman Indonesia Muda). Kepindahan seniman‑seniman
ini juga karena pindahnya Ibu Kota Republik Indonesia ke Yogyakarta.
ABDULLAH SURIOSUBROTO (1878‑1941) atau Abdullah S.R. tercatat
sebagai salah seorang tokoh Mashab "Hindia Molek" ,ia adalah pelukis
Masa pertama , generasi sesudah Raden Saleh berlangsung dalam empat puluhan
tahun pertama abad ini dengan tumbuhnya seni lukis pemandangan alam.Dia adalah
anak dari dokter Wahidin Sudirohusodo, seorang tokoh pergerakan nasional,
pendiri "Boedi Oetomo). Abdullah sempat belajar di Akademi seni rupa di
negeri Belanda setamat SMA. Dikirim orang tuanya untuk belajar kedokteran
tetapi menyimpang ke Akademi Seni Rupa di Negeri Belanda. Bakat melukisnya
sudah ada sejak masa kanak‑kanak di Solo. Perhatian objek alam lain seperti
manusia, tetapi pemandangan alam mempunyai kedudukan utama dalam seni lukis
masa ini.Tumbuhnya seni lukis pemandangan alam pada awal abad ini ditunjang
oleh beberapa faktor. Salah satu faktor yang terpenting ialah adanya sejumlah
pelukis Belanda, baik yang didatangkan oleh pemerintah Hindia Belanda , dengan
tugas resmi (misalnya untuk melukis keadaan alam, kota dan lain‑lain di
Indonesia) maupun yang datang karena semangat bertualang dan tertarik akan alam
sekitar lautan teduh. Dia memilih menetap di kota Bandung setelah studi di
Belanda. Bandung sebagai salah satu tempat banyak di huni oleh bangsa asing
sebagai konsumen seni dan juga karena alamnya yang sejuk dan indah. Lukisan‑lukisan
gaya ini sering juga disebut bergaya turistik. GAYA SENI LUKIS: Naturalisme
Romantik, pada masanya lukisannya mampu membawakan rasa keharuan dan perasaan
romantis, menimbulkan kerinduan akan kehidupan yang tenteram. Lukisannya
banyak menarik orang asing dan Indonesia yang memperlihatkan Indonesia yang
kaya, subur dan indah. Lukisannya banyak menarik angkatan muda, dan kuat
pengaruhnya. Sampai saat ini corak lukisannya masih ada di kota Bandung,
diantaranya yang mengikutinya adalah pelukis Wahdi. Salah satu ciri lukisannya
, dia mampu menggambarkan pemandangan alam yang terbentang mulai dari
pemandangan sawah, padi menguning dan air yang mengalir, gunung yang diselimuti
oleh awan. Permainan cahaya disela‑sela rumpun bambu dan hutan belantara serta
keelokan jalan , sungai yang jernih, yang melingkar diantara semak‑semak dan
pepohonan berlumut. Demikian juga dia sangat mampu untuk menggambarkan langit
dengan awan yang berarak, suasana senja yang lembayung, atau matahari pagi
dengan awan yang tipis berarak. Karya‑karya Abdullah Sr., Wakidi,
Pirngadi umumnya selain bernilai tentram, tenang, bersih dan enak
dilihat, namun menyimpan kelemahan yang sama. Ini disebabkan oleh sikap yang
belum berhasrat untuk mepelajari alam secara lebih mendalam, ketelitiannya baru
dari cara melihat alam dari jauh semata‑mata. Kekurangan lukisan mereka akan
segera terlihat jika menggambarkan detail , misalnya gambar pohon dari dekat.
Yang umumnya mereka lukiskan hanya sebagai pelengkap saja (latar muka),
dari komposisi lukisan, mereka melukiskan pohon bukan karena daya tarik pohon
itu sendiri, yang memiliki cabang dan ranting yang sebenarnya memiliki
keindahan tersendiri. Untuk menyatakan bentuk lukisan realistis‑naturalistis
secara detail sebenarnya dibutuhkan keahlian mengamati secara cermat, dan
hal tersebut tidak bisa dilakukan pertama karena digambarkan di studio, yang
kedua belum ada alat bantu lain seperti kamera untuk membantu penggambaran
objek. Meniru alam dan mengungkapkan keindahannya memang memerlukan pengamatan
yang cermat, dan kekurangan seperti ini memang terdapat pada gaya "Hindia
Molek".
ABEDY,Pelukis, anggota Perkumpulan pelukis Cipta Pancaran Rasa di
Bandung tahun 1952
ABSTRAK: SENI LUKIS ABSTRAK: pengertian, sebutan
"abstrak" mempunyai beberapa arti. Di sini kita gunakan istilah itu untuk
menyebutkan corak seni lukis yang tidak menampilkan rupa yang kita kenali
sebagai rupa benda atau obyek yang kita lihat dalam kenyataan disekeliling kita
: manusia, hewan, tumbuh‑tumbuhan, pemandangan alam dan sebagainya.
Lukisan dalam gaya ini tidak melukiskan obyek (disebut juga "abstrak non‑obyektif") ataupun melukiskan figur (karena itu disebut juga "abstrak non‑figuratif"). Tidak berarti bahwa seni lukis abstrak lalu tidak mempunyai hubungan apapun dengan yang kita kenal. Baik pelukis maupun penanggap lukisan, hidup dalam dunia rupa yang mengelilingi mereka. Rupa manusia, hewan, pohon, pemandangan sawah, gunung ialah sebagian saja dari dunia rupa itu, dan inilh yang lazim dilukis. Tetapi ada juga rupa lain. Bumi dilihat dari kapal udara, benda dilihat sangat dekat (permukaan tanah, permukaan batu dan sebagainya) atau perhatian akan obyek‑obyek, benda‑benda yang dilihat dengan mikroskop (jasad renik, jaringan sel susunan kristal, dan sebagainya) menyodorkan kepada kita kekayaan rupa yang aneka ragam. Ada pula rupa buatan manusia : rupa buatan arsitek, para ahli mesin, para insinyur sipil dan lain‑lain. Dan akhirnya ada bentuk yang kita jumpai dalam ilmu pasti, yang dibuat dengan penggaris, jangka dan lain‑lain. Sambutan kita terhadap dunia rupa yang aneka ragam ini, baik sambutan fisiologis maupun psikologis‑‑jadi dengan demikian seluruh latar belakang pengalaman kita tentang rupa‑‑merupakan faktor penting di dalam kita menghayati lukisan abstrak. Persiapan terbaik untuk "memahami" atau "menikmati" lukisan abstrak ialah kekayaan dan kedalaman pengalaman kita akan dunia rupa yang aneka ragam itu.
PELUKIS ABSTRAK INDONESIA : Berapa pelukis Indonesia mengerjakan lukisannya mula‑mula secara inprovisasi tanpa memikirkan sesuatu yang pokok. Kemudian, bila muncul sesuatu rupa, ia mengembangkannya menjadi rupa yang sedikit atau banyak membawa pikiran kita kepada objek yang kita kenal, walaupun tak pernah demikian jelas dan tegas seperti objek‑objek lukisan masa sebelum tahun 1960. Pelukis‑pelukis itu diantaranya : A.D.Pirous, Jusuf Affendi, Rustam Arief, pada periode 1960‑1970 dan juga Amri Yahya, D.A. Peransi dan lain‑lain. Jadi, selagi dalam kecendrungan terdahulu pelukis melukis benda‑benda atau obyek‑obyek, betapapun didistorsi, digayakan ataupun terjelma sebagai fantasi, dalam kecendrungan baru ini pelukis menciptakan bentuk‑bentuk dengan bebas. Ingatan kepada obyek dapat dikatakan hanyalah untuk "pegangan" saja dalam pikiran ditengah susunan bentuk‑bentuk abstrak, ataupun hanya batu loncatan untuk memulai melukis. Pelukis menciptakan susunan rupa yang ekspresif bagi emosinya (segi liris) dan memuaskan perasaannya akan rupa (segi estetis).
Lukisan dalam gaya ini tidak melukiskan obyek (disebut juga "abstrak non‑obyektif") ataupun melukiskan figur (karena itu disebut juga "abstrak non‑figuratif"). Tidak berarti bahwa seni lukis abstrak lalu tidak mempunyai hubungan apapun dengan yang kita kenal. Baik pelukis maupun penanggap lukisan, hidup dalam dunia rupa yang mengelilingi mereka. Rupa manusia, hewan, pohon, pemandangan sawah, gunung ialah sebagian saja dari dunia rupa itu, dan inilh yang lazim dilukis. Tetapi ada juga rupa lain. Bumi dilihat dari kapal udara, benda dilihat sangat dekat (permukaan tanah, permukaan batu dan sebagainya) atau perhatian akan obyek‑obyek, benda‑benda yang dilihat dengan mikroskop (jasad renik, jaringan sel susunan kristal, dan sebagainya) menyodorkan kepada kita kekayaan rupa yang aneka ragam. Ada pula rupa buatan manusia : rupa buatan arsitek, para ahli mesin, para insinyur sipil dan lain‑lain. Dan akhirnya ada bentuk yang kita jumpai dalam ilmu pasti, yang dibuat dengan penggaris, jangka dan lain‑lain. Sambutan kita terhadap dunia rupa yang aneka ragam ini, baik sambutan fisiologis maupun psikologis‑‑jadi dengan demikian seluruh latar belakang pengalaman kita tentang rupa‑‑merupakan faktor penting di dalam kita menghayati lukisan abstrak. Persiapan terbaik untuk "memahami" atau "menikmati" lukisan abstrak ialah kekayaan dan kedalaman pengalaman kita akan dunia rupa yang aneka ragam itu.
PELUKIS ABSTRAK INDONESIA : Berapa pelukis Indonesia mengerjakan lukisannya mula‑mula secara inprovisasi tanpa memikirkan sesuatu yang pokok. Kemudian, bila muncul sesuatu rupa, ia mengembangkannya menjadi rupa yang sedikit atau banyak membawa pikiran kita kepada objek yang kita kenal, walaupun tak pernah demikian jelas dan tegas seperti objek‑objek lukisan masa sebelum tahun 1960. Pelukis‑pelukis itu diantaranya : A.D.Pirous, Jusuf Affendi, Rustam Arief, pada periode 1960‑1970 dan juga Amri Yahya, D.A. Peransi dan lain‑lain. Jadi, selagi dalam kecendrungan terdahulu pelukis melukis benda‑benda atau obyek‑obyek, betapapun didistorsi, digayakan ataupun terjelma sebagai fantasi, dalam kecendrungan baru ini pelukis menciptakan bentuk‑bentuk dengan bebas. Ingatan kepada obyek dapat dikatakan hanyalah untuk "pegangan" saja dalam pikiran ditengah susunan bentuk‑bentuk abstrak, ataupun hanya batu loncatan untuk memulai melukis. Pelukis menciptakan susunan rupa yang ekspresif bagi emosinya (segi liris) dan memuaskan perasaannya akan rupa (segi estetis).
ABSTRAK EKSPRESIONISME, Gaya seni di Amerika dan Eropah.
Abstrak ekspresionisme adalah aliran dalam seni lukis Amerika pada tahun‑tahun
empatpuluhan, dan pusat perhatian dunia seni lukis berpindah dari Paris ke New
York, sebenarnya setelah dan selama perang dunia ke dua terdapat
pematangan dan isolasi ; yaitu selama peperangan antara tahun 1942‑1948 yang
segera mempengaruhi kesenian dimanapun juga. Orang‑orang Eropah untuk
pertamakalinya mengarahkan pandangannya ke Amerika, sedangkan di Amerika
sendiri sebenarnya sudah lama ada perkembangan seni , misalnya Duchamp sudah
ada disini sejak tahun 1915, Ozenfat tiba tahun 1938, Yves Tangui datang
tahun 1939. Para seniman mulai mengalir ke Amerika Serikat setelah masa masa‑masa
sebelum dan sesudah perang dunia ke dua itu. Abstrak Ekspresionisme adalah
suatu aliran yang dipengaruhi oleh gagasan dan konsep seni sebelumnya diantaranya
adalah improvisasinya Kandisky, kemudian oleh Dadaismenya Duchamp serta
Surealismenya Miro dan Paul Klee. Para tokoh seniman Abstrak Ekspresionisme
diantaranya adalah Arshile Gorky (1905‑1948) Hans Hofman (1880‑1966),
Willem De Kooning (1904‑ ), Tomlin ( 1889‑1953 ) dan Franz Kline (1910‑1962).
Kelompok ini sering juga disebut sebagai "pelukis aksi"
(action painters). Sebagaimana aliran sebelumnya , kelompok ini mulai
berkarya dengan lukisan‑lukisan yang representasional, kemudian dengan cara
mereka sendiri sampai kepada seni Abstrak‑ekspresionistis ini . Sebagai contoh
misalnya Hofmann mulai dari teori‑teori Matisse dan di tahun 1937 sampai kepada
Abstrak ‑ekpresionistis, sedangkan Gorky dan Pollock yang sering ke studio
Hofmann, yang sebelumnya terpengaruh oleh aliran Surealisme.Yang menjadi
pelopor dalam aliran ini adalah Gorky, yang dekat dengan Kandisky dan kelompok
surealistis .
ABSTRAK GEOMETRIS, suatu gaya seni yang dianut oleh mashab Bandung, antara
lain A.Sadali dan kawan‑kawannya sebelum tahun 1963.
ABSTRAK: GAYA SEMI ABSTRAK, yaitu semacam "ideologi
kesenian" yang muncul sekitar tahun 60‑an, semacam kompleks pemikiran,
sikap dan perasaan yang dimiliki bersama, yang menjadi dasar bersama bagi
perbedaan perorangan, dan dianggap sebagai pengesahan berbagai praktek seni
lukis yang disebut " semi‑abstrak". Yaitu suatu kecendrungan kepada
abstraksi yang lebih besar dalam melukis. Ada dua unsur yang penting dalam
ideologi kesenian ini, Pertama, penghormatan kepada pelukis sebagai pribadi
yang bebas menciptakan bentuk dan gayanya sendiri. Sudah tentu terdapat
kekuatan yang melawannya, tetapi penghormatan itu tetap kuat dan luas terdapat
dikalangan pelukis. Unsur kedua ialah kepercayaan yang, karena komunikasi
diantara pelukis di sanggar, di pertemuan dan di lembaga pendidikan, telah
menjadi semacam ajaran, bahwa elemen‑elemen rupa serta susunannya sendiri,
lepas dari obyek apa yang digambarkan, dapat membangkitkan, menyatakan atau
menyampaikan emosi, perasaan ataupun pengalaman kesenian yang berharga.
Kecendrungan ini nampak terutama pada beberapa pelukis di Bandung, Jakarta dan
Yogyakarta. Hampir semua dalam masa sesudah 1960 menganut seni lukis abstrak ;
beberapa untuk singgah sebentar, yang lainnya melanjutkan penjelajahannya dalam
gaya tersebut. Secara teoritis dikatakan bahwa seni rupa Indonesia telah masuk
pada masa ketiga, yakni sejak sekitar 1960 sebagai masa berkembangnya
seni lukis abstrak di Indonesia. Walaupun gaya seni yang lainnya tetap hidup,
boleh dikatakan berdampingan jadi bukan hanya lukis abstraklah yang terdapat
dalam masa ketiga itu. Akan tetapi setidak‑tidaknya boleh dikatakan, seni lukis
abstraklah menonjol paling kuat dalam perkembangannya sesudah 1960. Munculnya
seni lukis abstrak memperlihatkan berubahnya arah perhatian pelukis kepada segi
pengalaman yang terikat pada hadirnya benda‑benda atau objek‑objek:
pemandangan, orang di pasar, pohonan, perahu dan lain‑lain ke perhatian akan
segi pengalaman yang lebih abstrak.ABSTRAK : Seni Lukis gaya semi abstrak di
Bandung, mulai di Bandung dengan Ahmad Sadali dan kawan‑kawannya seperti
Mochtar Apin, Srihadi, Popo Iskandar, But Muchtar dan Yusuf Effendi pada tahun
1953. Para pelukis merombak bentuk obyek‑obyek menjadi motif yang datar, yang
terjadi oleh perpotongan sejumlah garis lurus dan lengkung. Seluruh lukisan
terjadi oleh garis yang membagi‑bagi permukaan kanvas, serta warna‑warna yang
telah rata mengisi bidang‑bidang geometris yang terjadi oleh perpotongan garis.
Dengan demikian yang segera nampak pada lukisan , atau yang menguasai
penglihatan, ialah suatu susunan garis dan bidang geomeris berwarna‑warni,
bentuk obyeknya "tenggelam" dalam jaringan itu. Pada waktu yang
bersamaan di Jakarta Oesman Effendi memotong bentuk obyek dengan garis dan
bidang geometris pula, sehingga terlihat susunan konstruktif dari garis, warna
dan bidang. ABSTRAK : gaya semi abstrak di Yogyakarta. Di Yogyakarta pada
Oesman Effendi pada G.Sidharta, Fadjar Sidik, Handrijo dan Abas Alamsyah.
Pendidikan akademis di ASRI, serta pameran karya pelukis Bandung di Yogyakarta
pada tahun 1955 dan 1958, membangkitkan pada beberapa pelukis kecendrungan ke
arah abstraksi yang lebih besar. Kecendrungan ini diperkuat dengan pulangnya
G.Sidharta dari pendidikannya di Negeri Belanda tahun 1958. G.Sidharta menyusun
macam‑macam bentuk, bidang, warna, garis dan tekstur. Susunan itu memang
mengingatkan kita kepada benda‑benda yang kita kenal kenyataannya, tetapi
bentuknya telah dipotong, dibongkar, dijadikan datar. Handrio, menjelang tahun
1960, cepat menangkap gagasan bahwa lukisan, melalui susunan elemennya, dapat
menjadi semacam "musik rupa". Ia mencoba bekerja dengan gagasan ini
hingga pada tahun 1963/1964. Ia mengabstrakkan dan merombak bentuk alat‑alat
musik menjadi susunan rupa geometris. Bagi Fadjar Sidik tahun 1957/1958
merupakan masa krisis. Oleh pengamatannya akan perkembangan masyarakat
sekelilingnya, ia meragukan gaya jalan belaka dengan kecendrungan umum yang
telah kita uraikan dimuka. Pada tahun 1960 ia membuat sejumlah sketsa, vignet
dan lukisan dengan menyususn motif‑motif datar dengan dasar bentuk gemotris
yang cukup jelas, yang nampak bergerak‑gerak dalam ruang seolah‑olah makhluk
hidup. Seringkali sebuah motif membangkitkan ingatan kepada bermacam‑macam
makhluk hidup sekaligus‑manusia, hewan, tanaman. Menjelang 1960 pula, gaya hias
(dekoratif) mendapat perkembangan baru dengan abstraksi lebih besar seperti
nampak di Yogyakarta pada Widayat (sejak 1955) dan Abas Alibasyah. Di
Yogyakarta pada Oesman Effendi pada G.Sidharta, Fadjar Sidik, Handrijo dan Abas
Alamsyah.
ADI MUNARDI, Pelukis. Kelahiran Lawang, 10 Desember 1946. Pendidikan
Akademi Seni Rupa Indonesia 1964. Pendidikan STSRI‑"ASRI" 1965.
Banyak mengadakan pameran baik dalam maupun luar negeri.
Adikarya; masterpiece
AFFANDI, (Alm). Pelukis, Kelahiran Cirebon tahun 1907. Pendidikan
AMS‑B. Jakarta. Memulai karirnya, dan belajar melukis di Bandung antara tahun
1936‑1942, semasa Moh.Syafei Soemardja. Sekitar tahun 1942‑1945
aktif di Keimin Bunka Shidoso. Pada tahun 1943 dia mengadakan pameran pertama
di Keimin Bunka Shidoso. Dia anggota pembentuk perkumpulan Seniman Masyarakat
pada tahun 1946 Di Yogyakarta. Setahun kemudian (1947) dia bergabung dengan
Sudjojono dalam SIM ( Seniman Indonesia Muda) yang dibentuk di
Madiun pada tahun 1946, tetapi kemudian pindah ke Surakarta di tahun 1947; dan
akhirnya ke Yogyakarta 1948, karena pertentangan pendapat. Pada tahun 1947
Hendra, Affandi, meninggalkan SIM dan mendirikan Pelukis Rakyat. Dalam
perkumpulan ini bergabung Sudarso, Kusnadi, Sasongko, Trubus, Sumitro, Sudiardjo,
Setijoso dan lain‑lain. Pada tahun 1948 Affandi dengan
Sutikna mendirikan Gabungan Pelukis Indonesia (GPI) ) di Jakarta tahun 1950
melawat ke India dengan biaya sendiri, liwat bantuan pemerintah India kemudian
mengadakan pameran di kota‑kota besar India. Tahun 1952 melawat ke Eropah,
pameran di Belanda dan Begia, terus ke Perancis dan Italia tahun 1953‑1954.
Pameran bersama di Biennalle II, San Paulo Brazillia. Tahun 1953. Tahun 1954
mewakili Indonesia di Brazillia. Sepulangnya dari Eropah , tahun 1955 mengajar
di Pendidikan Akademi Seni Rupa Indonesia dan pameran tunggal di Jakarta pada
tahun itu juga. Pada tahun 1957, dengan grant pemerintah Amerika mempelajari
metode Pendidikan Kesenian. Tahun 1962, menjadi guru besar kehormatan pada Ohio
University AS.Membuat mural pada East West, Center University, Hawaii tahun
1968 menjadi ketua persatuan seni rupa Internasional "JAPA", penerima
anugerah seni dari pemerintah Indonesia, diangkat menjadi anggota akademi
Jakarta" seumur hidup. Pada tahun 1974 mendapat anugerah Doktor kehormatan
dari University Singapore pada tahun 1977, mendapat kehormatan Internasional,
penghargaan "Dag Hammer skoeld" di Italia. GAYA SENI LUKIS : Karya
pertama Affandi terdiri dari sketsa dengan tinta hitam dan pena, pastel dan cat
air, yang dibuatnya di Bandung. Karyanya dari media pastel berusaha untuk
menyalin bentuk, sedangkan karya sketsa dari pena, dan tinta Cina ,lebih bebas.
Dia mempelajari reproduksi karya‑karya besar dari Michael Angelo, Botticelli
dan Rembrant. Afandi berhasil menciptakan lukisan dan ekpresi air muka ibunya
dengan cat minyak tahun 1940. Dengan kecermatan anatomis, karya potret ini
istimewa dipandang dari penyusunan warna maupun garis maupun ekpresi bentuk
wajah. Karya pameran tunggal pertama Affandi tahun 1943 di
"Poetera" Jakarta, membuka cakrawala seni lukis Indonesia dalam gaya
ekspresionisme.Pameran tersebut juga mengetengahkan berbagai segi kehidupan di
Bali, seperti "upacara‑upacara, adu ayam, minum tuak, peliharaan
babi" dan kebiasaan rakyat Bali yang lainnya. Objek‑objek lukisan yang
sebelumnya belum terlukis oleh para pelukis yang umumnya bersifat turistik dan
hanya menonjolkan sifat eksotik Bali (gaya Hindia Molek). Affandi juga suka
melukis potret, terutama anggota keluarganya, seperti istri, anak‑anak dan
dirinya sendiri. Sebagai penganut ekspresionisme dia suka kepada yang menyentuh
perasaan misalnya dia melukis pengemis yang dilukisnya sewaktu datang, waktu
dia berhenti dan waktu dia pergi. Karya lain adalah burung gereja yang mati
ditangannya. Dia sering menyatakan pengagum Van Gogh. Namun dia tidak meniru
Van Gogh, sebab lukisan‑lukisan Van Gogh umumnya pendek, lurus serta paralel
sedangkan garis‑garis lukisan Affandi panjang serta bergelombang, mengalun yang
simpang siur arahnya. Van Gogh melukis dengan kuas, sedangkan Affandi
padamulanya saja dengan kuas kemudian selalu memelototkan cat ke kanvasnya.Cara
melukis Affandi ini menyebabkan permukaan kanvas bertekstur, dan terdiri dari
warna‑warna kental dan sebagian lukisan Affandi bidang kanvasnya dibiarkan
kosong. Bagian‑bagian kanvas yang kosong dalam sebuah lukisan pada umumnya,
membawa kelegaan, sebagaimana lukisan‑lukisan dari gaya Tiongkok klassik maupun
Jepang.Tentang kebiasaan melukis sebagian bidang kosong ini berasal juga
berasal dari kebiasan melukis dengan cat air, sbelum periode cat minyaknya.
Periode cat air ini berlangsung selama tujuh tahun (1936‑1942), dalam masa
terakhir dari cat airnya dia juga memelototkan langsung cat air ke kertas
sebagaimana teknik cat minyaknya. Segera setelah bidang kertas berisi garis‑garis
segera diguyurkannya air dengan kedua tangannya berkali‑kali, gunanya adalah
untuk mencairkan dan mewarnai kertas. Affandi suka menyertai tanda tangannya
dengan simbol matahari dan kaki orang untuk menggambarkan falsafah hidupnya
yang mengagumi kebesaran alam, dan ingin mengisis hidupnya dengan kerja saja.
AGUS DERMAWAN T., Penulis, Kritikus seni, Kelahiran
Rongojampi (Jawa Timur), tahun 1952. Pendidikan STSRI‑"ASRI"
Yogyakarta tahun 1971‑1976, jurusan Seni Lukis. Banyak
menulis masalah seni di berbagai koran dan majalah, sejak tahun 1977
menjadi pembantu lepas untuk penulisan seni rupa di harian Kompas. Dan sebagai
staf artistik majalah Gadis jakarta. Selain menulis kritik seni, juga membuat
cerpen, puisi dan essai. Mendapat berbagai penghargaan atas karya‑karyanya.
Beberapa buku yang telah ditulisnya : "Basuki Abdullah, Duta Seni Lukis
Indonesia, dan "Zaini, Manusia, Lukisan dan Kabut.
AGUS DJAJA SUMINTA, pelukis, penulis zaman kemerdekaan, Ketua PERSAGI .
Dia dianggap sebagai pelukis yang bergaya Fantasi sekitar tahun 1940‑50‑an. Dia
juga memimpin bagian Seni Rupa pada Keimin Bunka Shidoso ( Pusat
Kebudayaan), di Zaman Jepang. Agus Djaja , disamping melukis juga
gemar membuat essay pendek berbahasa Belanda tentang pandangan
melukisnya, essay tersebut ditulisnya dalam gaya romantis‑puitis, sebagaimana
juga seni lukisnya. GAYA SENI LUKIS: Kekhasan karya‑karya Agus
Djaja terletak pada gaya melukis figur wanitanya, baik dalam sikap
maupun dalam komposisi. Dalam lukisan Agus Djaja terlihat adanya hubungan yang
kuat antara ide dan cara pengelompokan, atau penyusunan komposisi figur yang
terdapat pada relief candi yang menjadi sumber ilhamnya. Namun demikian figur
tersebut telah diolah kedalam bentuk realita bentuk nyata manusia, sehingga
memperlihatkan kesan kegemulaian dan kemolekan.
Dan tidak sama dengan proporsi
bentuk yang terdapat pada relief candi. Dalam menggambarkan figur Agus Djaja
memfokuskan penggambaran wajah tokoh yang digambarkan, melalui pandangan yang
sayu, rambut lebat dan dengan uraian rambut tertentu, serta kening melengkung
sebagai unsur penting dari wajah. Karya‑karya Agus Djaja yang terbaik berhasil
mengekspresikan pandangan mata yang jernih serta dalam. Umumnya
karya Agus Djaja menggali lagi rahasia puitis dari timur yang bersumber dari
masa kehidupan candi Indonesia. Karya lukis Agus Djaja mengajak
kita untuk menghargai gema dari alam dekoratif, melalui warna maupun
pembawaan kesan‑kesan monumental komposisi karyanya. Rasa mistiknya tetap ada,
disamping rasa sensual dari tokoh wanita yang digambarkan. Agus Djaja umumnya
tertarik untuk menggambarkan mitologi perwayangan, diantaranya adalah untuk
menggambarkan tokoh Arjuna dan Kresna dalam epik Mahabharata dan perang
Bharatayuda. Dalam hal ini nampak Agus Djaja terpengaruh dengan seni relief
candi dan wayang kulit, dimana dalam melukiskan figur wayang Agus Djaja,
tidak selalu meujudkannya dalam bentuk tiga dimensi. Seorang tokoh ksatria
dalam wayang dilukiskan olehnya dengan hidung yang mancung sebagaimana terdapat
dalam wayang kulit atau wayang golek. Tetapi wayang ini dihidupkan sebagaimana
figur manusia yang biasa, yang berpakaian seperti tergambar dalam relief candi,
atau analogi dari tata pakaian pada wayang kulit dan wayang orang. Dalam karya‑karya
aquarelnya, yang dibuat diatas kertas pada masa PERSAGI seperti potret istrinya
dan seorang penari topeng Bali, rata‑rata digambarkan berwarna
monoton keabu‑abuan dengan menunjukkan sapuan‑sapuan kuas yang cepat. Dia
kemudian menghapus kembali sapuan tersebut dengan karet, dalam
cara demikian maka dilahirkan tekstur kertas yang tidak rata lagi,
tetapi membentuk tertur yang berombak. Disamping sebjek matter yang berasal
dari masa kecandian, Agus Djaja juga melukiskan kehidupan, sehari‑hari misalnya
pertunjukan rakyat, dengan menonjolkan sifat santai dan kocak dari figur yang
digambarkan. Misalnya dalam menggambarkan pemain gendang dan peniup seruling
dari permainan pencak silat, atau pemain kuda kepang yang gemuruh dalam gaya
Jawa Barat. Agus Djaja juga berkarya dengan sketsa‑sketsa pena hitam
putih.
AGUS KAMAL, Pelukis,Kelahiran Pemalang, 31 Juli 1956. Pendidikan FSRD‑ISI Yogyakarta 1986. Banyak mengadakan pameran baik dalam maupun luar negeri. Dia banyak mendapatkan penghargaan, dalam melukis. Gaya seni: Pelukis muda generasi 80‑an Indonesia, khususnya mashab Yogyakarta, dengan gaya surealime barunya. Hal ini terjadi akibat pertemuan antara dasar berfikir yang muskil, absurd dan mimpi seperti yang ada dalam dunia fikir Indonesia lama dengan surealisme Barat, melahirkan surealisme para pelukis muda di Indonesia, khususnya di Yogyakarta.
AHMAD SADALI (alm). Pelukis abstrak Bandung, Kelahiran Garut,29 juli
1924, melukis sejak kecil.Pendidikan, Universitas Indonesia,
Fakultas Teknik departemen Seni Rupa 1948‑1953.Dep. Seni Rupa Univ.Of IOWA, USA
1956 ; Arts Teachers colledge, Columbia University USA 1957; Art Student
League, NYC.USA 1957, Dosen Seni Rupa Institut Teknologi Bandung.
Banyak mengadakan pameran baik dalam maupun luar negeri. GAYA SENI LUKIS: pada tahun 1963 meninggalkan abstrak geometris. Kanvasnya
memperlihatkan warna‑warna cemerlang yang lebar‑lebar dan
tidak menggambarkan objek apapun. Dalam perkembangannya kemudian,
kanvas Ahmad Sadali menyuguhkan warna‑warna yang lebih redup seperti warna
tanah oker,biru dalam dan hitam. Tekstur memegang peranan penting. Tekstur ini
nampak seolah‑olah terjadi oleh bermacam tenaga dan proses dalam alam;
penegangan dan pengerutan, peretakan, pemecahan, pengelupasan dan penyobekan,
pengikisan dan pelapukan, proses menua dan menghancur. Pada lukisan Ahmad
Sadali tidak ada sapuan kwas lebar dan kuat yang merekam tenaga dan emosi
pelukis, dan yang membuat pengmatan kita bergerak cepat, segala retakan dan
tekstur, berbagai coretan dan goresan yang bergerak pendek, menyebabkan setiap
jengkal bidang lukisan Ahmad Sadali merupakan rupa yang kaya dan menawan kita
untuk mengamati dengan tenang dan cermat, untuk diam dan merenunginya.
Keusangan dan kelapukan , ketuaan dan kelampauan, memang merupakan hal yang
pantas membuat kita termenung. Apa lagi jika Ahmad Sadali pada kanvasnya
menempatkan lelehan dan sisa emas kemilau atau menempatkan bentuk yang dapat
kita tangkap sebagai lambang : sepotong ayat suci dalam huruf Arab, segi empat
hitam yang mengingatkan kita kepada Ka'bah, bentuk seperti gunungan (kekayon =
pohon ayat) atau gerak keatas (vertikal). Perhatian Ahmad Sadali kepada tekstur
sebagai elemen yang sangat penting dalam lukisannya, menyebabkan dia
menggunakan cat yang tebal dan kadang‑kadang merekatkan potongan kain pada
kanvasnya. Tekstur yang makin menonjol ini membawanya kepada relief pada kanvas
Ahmad Sadali sekitar tahun 1970, dia memasang bantalan yang tebal. Pengalaman
yang "dipancarkan" oleh lukisan Ahmad Sadali, misalnya bukanlah
kejadian dalam kehidupan sosial, ataupun pengalaman tentang sepotong
pemandangan alam, ataupun ungkapan emosi‑emosi yang tergugah oleh hal‑hal
demikian. Yang dipancarkan ialah pengalaman yang timbul oleh suatu penglihatan
tentang suatu proses perusakan dan penghancuran dalam alam kehidupan, bukan
perusakan dan penghancuran objek ini atau objek itu, proses perusakan itu
sendiri. Jika Oesman Effendi melukis "alam Perahu" atau
"pemandangan", perhatiannya bukanlah kepada segi pengalaman yang
terikat oleh, atau melengket pada rupa perahu atau pemandangan. Ia tertarik
pada segi pengalaman yang lebih berupa sari, lebih bersifat musik. Demikianlah,
seperti yang telah kita sebutkan, banyak pelukis mengungkapkan pengalamannya
tentang alam tanpa melukis objek‑objek dari alam itu sendiri.Dorongan yang
merubah perhatian kepada segi pengalaman yang lebih abstrak itu pula yang
menyebabkan kuatnya kecendrungan ke abstraksi yang lebih besar sesudah 1960‑an.
AKADEMI SENI RUPA INDONESIA (ASRI) berdiri
pada tanggal 18 Januari tahun, 1950, di Yogyakarta, berkat idealisme
pendidik A.J.Katamsi. Dan lembaga ini memperoleh status penuh sebagai lembaga
pendidikan tinggi pada tahun 1968 dan menjadi Sekolah Tinggi Seni Rupa
Indonesia Asri (STSRI"ASRI"). Konsep pendidikan , awalnya adalah
untuk mendidik calon seniman, dan yang kedua adalah untuk mendidik calon guru.
Calon mahasiswa seniman yang diterima minimal berpendidikan
lulusan SMP, sebab dianggap bakat seniman sudah ada sejak muda.
Hendra dan Kusnadi memimpin bagian seniman dan R.J.Katamsi dan Djajengesworo
memimpin guru gambar.
Alat; instrument
ALEX WETIK, anggota Perkumpulan pelukis "Matahari" di
Jakarta,1957
AMANG RAHMAN JUBAIR, pelukis. Kelahiran Surabaya 20 Nopember 1931. Melukis sejak
tahun 1963 secara otodidak. Disamping pelukis juga penyair. Banyak mengadakan
pameran di indonesia. Corak lukisannya surrealistis dengan susunan yang liris.
Menjabat anggota BPH, kepala bidang Seni Rupa Dewan Kesenian Surabaya (DKS) dan
menetap di Surabaya.
AMING PRAYITNO, pelukis, seniman. Kelahiran Surakarta 9 Juni 1943.
Pendidikan Akademi Seni Rupa Indonesia dan STSRI‑"ASRI" Yogyakarta
1978, Gaya lukisannya mula‑mula masih mengambil objek nyata dan kemudian
berubah menjadi non figuratif. Asisten dosen STSRI‑"ASRI" Yogyakarta.
Belajar seni ke Belgia tahun 1976. Banyak mengadakan pameran baik
dalam maupun luar negeri.
AMRI YAHYA Pelukis Gaya Abstrak, seni lukis tanpa objek pertama
Indonesia periode 1960‑1970. Kelahiran Palembang 29 September 1939. Pendidikan
Akademi Seni Rupa Indonesia dan menyelesaikan tahun 1963. Mendirikan
sanggal "Muslim" tahun 1964. Mulai mengembangkan seni lukis batik
sejak tahun 1966. Mulai belajar diikip Seni Rupa Yogyakarta tahun 1968 dan pada
tahun yang sama mendirikan "Art Gallery Yogya bersama
Soemihardjo.Lulus IKIP Seni Rupa tahun 1971, dan pada tahun yang
sama bersama Soemihardjo dan Sularjo membangun "The Jayakarta Center of
Arts and Crafts". Menjadi dosen IKIP Seni Rupa Yogyakarta tahun 1973 dan
mengajar di STSRI‑ASRI. Tahun 1972 mendirikan "Amri Gallery " di
Yogyakarta, membuka cabang Amri Galleri di Den Pasar Bali pada tahun
1975.Banyak mengadakan pameran baik dalam maupun luar negeri sejak
tahun 1960.
AMRUS NATALSA, ppendiri perkumpulan peelukis "bumi tarung"
di Yogyakarta
ANALOGI; kias
ANDOT ROOSSENO SS, Pelukis. Kelahiran Jakarta, 30 september 1956. Seniman
Otodidak yang berkecimpung di pasar Seni Ancol Jakarta. Banyak mengadakan
pameran di jakarta.
ANGKAMA SETJADIPRADJA, (Alm). Pelukis, dosen Seni Rupa
ITB. Kelahiran Ciamis, Jawa Barat 5 Oktober 1933. Anggota Perkumpulan pelukis
Cipta Pancaran Rasa di Bandung tahun 1952. Banyak mengadakan pameran
baik dalam maupun luar negeri. Disamping mengajar di Pendidikan Seni Rupa ITB.
Dia juga mengajar di Universitas Trisakti, LPKJ, Usakti.
ANGKATAN SENI RUPA INDONESIA, (A.S.R.I.), perkumpulan seni lukis
di Medan , Sumatera Utara tahun 1945. Anggotanya adalah Nasyah
Djamin, Hasan Siregar, Hasan Djafar, Husein, ketuanya adalah Ismail Daylay.
ANTI LYRISISME, gaya seni rupa yang berkembang pada generasi
sesudah tahun 1970‑an di Indonesia. Sebuah lukisan merupakan bidang ekpresif,
tempat seorang pelukis seakan‑akan memproyeksikan emosi dan getaran
perasaannya, merekam kehidupan jiwanya. Bidang lukisan demikian itu dipandang
sebagai dunia imajinasi yang memiliki kodrat sendiri, dunia imajiner ataupun
"irreal". Dunia yang tampil pada bidang lukisan itu tidak menyambung
dan tidak pula merupakan salinan dari dunia nyata‑kongkrit dimana kita,
penanggap lukisan berada. Ia hadir dalam ruang "maya'. Seakan‑akan hendak
memperkuat sifatnya yang imajiner itulah maka lukisan dibatasi bingkai,
"mengucilkan"diri di dinding. Dengan begitulah ia menyajikan rupa
yang bukan gambaran benda‑benda yang kita kenal sekitar kita, melainkan dunia
imajinasi, yang dalam lingkungan pigura itu dipandang sebagai penjelmaan
perasaan dan batin pelukis dalam mengalami alam dan dunia nyata. Sebuah lukisan
ialah dunia imajinasi, dunia liris. Didalamnya pengalaman emosi mengalami
penyaringan dan penjelmaan. Akan tetapi , pada masa ini, kita patut mencatat
lain yang berlawanan dengan lirisisme itu pada sejumlah seniman muda. Gejala
ini tampak sesudah 1970. Anti lirisisme itu pada sejumlah seniman
muda. Anti lirisisme ini terwujud dalam dua macam kecendrungan.
Dalam macam yang pertama, asosiasi dengan alam dan hidup juga emosi
disingkirkan. Tentu terdapat juga perasaan disini, yakni akan rupa atau dalam
hal ini: perasaan akan tertib matematis, akan rasionalitas dalam rupa. Lukisan
menjadi susunan dua atau tiga macam bentuk geometris sederhana yang diulang dan
disususun mengikuti suatu aturam matematis. Ini tampak pada lukisan‑lukisan
B.Munni Ardhi, Harsono, Nanik Mirna pada tahun 1970‑1973. Dalm hal lain,
melukis ialah meneliti, menganalisa, mengukur dan menghitung, dalam rangka
mencari dan menimbulkan gejala optis dalam struktur yang bersistem, seperti
pada lukisan‑lukisan Anyool Subroto dan Sugeng Santosa.
ANYOOL SUBROTO salah seorang anggota Seni Rupa Baru 1975, Pelukis
eksperimental Indonesia periode 1970‑1973‑an, melukis melalui meneliti,
menganalisa, mengukur dan menghitung, dalam rangka mencari dan menimbulkan
gejala optis dalam struktur yang bersistem , sebagai penolakan terhadap gaya
sebelumnya yang "lirysisme", sehingga gaya seni mereka dianggap lebih
rasional.
APRESIASI SENI, Istilah apresiasi berasal dari bahasa Latin
Apreciatio artinya 'mengindahkan' atau 'menghargai'.
ASRI NUGROHO, Pelukis muda generasi 80‑an Indonesia,
khususnya mashab Yogyakarta, dengan gaya surealime barunya. Hal ini terjadi
akibat pertemuan antara dasar berfikir yang muskil, absurd dan mimpi seperti
yang ada dalam dunia fikir Indonesia lama dengan surealisme Barat, melahirkan
surealisme para pelukis muda di Indonesia, khususnya di Yogyakarta.
ATENG RUSYAN, Pelukis,
Anggota PERSAGI,(Persatuan Ahli Gambar Indonesia) yang didirikan oleh Agus
Djaja tahun 1938.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar